Pemberlakuan Revisi Ketiga UU Pelayaran Agar Menjadi Perhatian Pelaku Usaha Pelayaran

Pemberlakuan Revisi Ketiga UU Pelayaran Agar Menjadi Perhatian Pelaku Usaha Pelayaran

Pada tanggal 28 Oktober 2024, Pemerintah menerbitkan Undang-Undang No.66 tahun 2024 yang merupakan perubahan ketiga atas UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Perubahan UU tersebut merupakan respons dari perkembangan transportasi di bidang Pelayaran di Indonesia yang dinamis sehingga dibutuhkan revisi terhadap UU tentang Pelayaran dalam rangka sinkronisasi dengan materi Undang-Undang tentang Cipta Kerja serta untuk menjawab perkembangan, dan kebutuhan hukum di masyarakat dalam penyelenggaraan bidang Pelayaran.

Revisi atas Undang-Undang tentang Pelayaran bertujuan untuk memperjelas keberlakuan azas cabotage demi menegakkan kedaulatan Pelayaran Indonesia, mewujudkan biaya logistik yang efisien dan efektif, pemberdayaan terhadap pelayaran-rakyat, meningkatkan daya saing dalam pelrayaran Indonesia, meningkatkan nilai Logistic Performance Index (LPI) dalam Kepelabuhanan di Indonesia, dan memperjelas kelembagaan di bidang Pelayaran. Materi-materi dalam Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang tentang Pelayaran, antara lain mencakup penerapan azas cabotage dalam rangka keberpihakan pada angkutan laut nasional, usaha jasa terkait, tarif jasa kepelabuhanan, efisiensi biaya angkut logistik, pelayaran-rakyat, pelayaran perintis, penyelenggaraan kewajiban pelayanan publik, penyediaan sarana dan prasarana pelayaran perintis, pelindungan lingkungan maritim, penyelenggara pelabuhan, kelembagaanyang berwenang melakukan pengawasan dan penegakan peraturan perundang-undangan di bidang Pelayaran, tata cara penahanan Kapal di Pelabuhan, penguatan pidana, dan pengaturan terkait ketentuan peralihan.

Indonesian National Shipowners’ Association mencatat setidaknya sejumlah hal penting yang harus menjadi perhatian pelaku usaha angkutan laut, khususnya anggota organisasi.

Pertama, Pemberdayaan pelayaran rakyat. Pasal ini disisipkan antara pasal 15 dan 16 yang esensinya adalah pemberdayaan pelayaran rakyat wajib dilakukan oleh pemerintah melalui program-program pengembangan sumber daya manusia, pengembangan armada pelayaran rakyat, pembangunan terminal, peningkatan kapasitas pengelolaan usaha dan memaksimalkan ketersediaan muatan kapal. Adapun sumber pendanaan bisa menggunakan APBN, APBD, modal perusahaan, lembaga pembiayaan dan perbankan maupun sumber lain yang sah sesuai UU.

Kedua, pelaksanaan kegiatan pelayaran perintis yang wajib dilakukan oleh Pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Menariknya, di dalam pelaksanaan pelayaran perintis ini, angkutan laut nasional dapat bekerja sama dengan pelaku usaha pelayaran rakyat sesuai dengan pasal 25A.

Tidak hanya itu, pemerintah juga wajib menyediakan sarana penunjang yakni kapal, pelabuhan, tempat penyimpanan sementara barang, infrastruktur jalan di sekitar pelabuhan dan sarana dan prasarana penunjang lainnya seperti termaktub pada pasal 26B.

Ketiga, UU pelayaran juga memperketat kebijakan untuk mendapatkan izin berusaha di bidang angkutan laut yang dibentuk melalui joint venture. Joint venture dengan perusahaan pelayaran asing hanya dapat dilaksanakan oleh perusahaan angkutan laut yang seluruh sahamnya  dimiliki oleh warga negara Indonesia.

Perusahaan hasil joint venture tersebut harus memiliki dan mengoperasikan kapal berbendera Indonesia dengan ukuran paling rendah 50.000 GT per kapal dan kapal tersebut

wajib diawaki oleh awak berkewarganegaraan Indonesia sebagaimana pasal 29. Kapal yang dioperasikan oleh perusahaan hasil joint venture tersebut, baik perusahaan angkutan laut niaga maupun usaha angkutan laut khusus, wajib mendaftarkan kapalnya dengan ukuran paling rendah 50.000 GT per kapal sesuai dengan pasal 158A.

Keempat, UU juga memperkuat pemberdayaan angkutan laut nasional dengan  mengubah pasal 56 sehingga berbunyi pengembangan dan pengadaan armada angkutan perairan nasional dilakukan dalam rangka memberdayakan angkutan perairan nasional dan memperkuat industri perkapalan nasional yang dilakukan secara terpadu, terencana, terukur dengan dukungan semua sektor terkait, dan tersosialisasi guna memastikan adanya kemajuan industri angkutan perairan dan industri perkapalan.

Kelima, Peraturan Pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya dari Undang-Undang ini ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. DPR RI resmi mengesahkan Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, pada Rapat Paripurna DPR RI ke-8 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2024-2025, di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta, Senin (30/9). UU itu kemudian disahkan pada tanggal 28 Oktober 2024 oleh Presiden Prabowo Subianto dan diundangkan pada tanggal yang sama oleh Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi.

Sebagaimana diketahui, DPR RI berinisiatif menyampaikan RUU tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran kepada Presiden melalui surat Nomor B/7517/LG.01.01/7/2024 tanggal 4 Juli 2024. Lalu,pemerintah melakukan penyusunan pandangan melalui Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dengan melibatkan kementerian/ lembaga dan stakeholder terkait meliputi pelaku usaha, asosiasi, akademisi, serta praktisi.

Selanjutnya, pemerintah menyampaikan DIM RUU Pelayaran melalui surat Presiden kepada Ketua DPR RI Nomor R-40/Pres/09/2024 tanggal 5 September 2024, yang di dalamnya juga menugaskan Menhub sebagai leading sector bersama Menteri Pertahanan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Keuangan, Menteri Kelautan dan Perikanan, serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi sebagai wakil pemerintah.

Berdasarkan hasil pembahasan panitia kerja pada 23 dan 24 September 2024, terdapat 67 angka perubahan RUU Pelayaran dengan total 71 pasal yang memuat beberapa materi muatan baru maupun perubahan yang disepakati.

Perubahan tersebut antara lain penguatan regulasi pemberdayaan angkutan laut pelayaran rakyat, pengaturan kewajiban pelayanan publik, penguatan azas cabotage melalui pengaturan usaha patungan angkutan di perairan, pengaturan usaha jasa terkait sebagai usaha patungan, pemberian fasilitas pembiayaan dan perpajakan untuk pemberdayaan industri angkutan di perairan dan industri perkapalan, mengikutsertakan asosiasi penyedia jasa dan asosiasi pengguna jasa dalam penentuan besaran tarif jasa kepelabuhan yang diselenggarakan oleh badan usaha pelabuhan.

Juga tentang tata kelola pendaftaran kapal usaha patungan (joint venture), tata kelola pelimpahan pemanduan dan pengaturan terkait penggunaan kapal tunda dalam pemanduan, penyederhanaan birokrasi di bidang kepelabuhanan, serta fungsi pengawasan pelayaran. AJ

 

 

 

 

  • By admin
  • 11 Nov 2024
  • 147
  • INSA